Polemik Industri Properti: Ancaman Pencemaran Lingkungan Hidup dan Pelanggaran HAM Diduga Dilakukan Sejumlah Pengembang Properti
Sejumlah pengembang properti di wilayah Jabodetabek saat membangun hunian, baik rumah tapak maupun apartemen, diduga kuat melakukan pelanggaran HAM dan mencemari lingkungan hidup masyarakat di sekitarnya
thepropertycom (JAKARTA). Dugaan adanya dampak atas pembangunan hunian, baik rumah tapak maupun apartemen yang mencemari lingkungan hidup serta pelanggaran HAM, kurang menjadi fokus perhatian sejumlah pengembang properti. Berikut ini beberapa kasus, terkait adanya dugaan pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan beberapa pengembang properti di Jabodetabek.
Pengacara kondang Kamaruddin Simanjuntak mendatangi Polda Metro Jaya, Rabu (18/1/2023) lalu. Kamaruddin tidak bisa menerima kliennya, Dr. Ike Farida, SH, LL.M yang juga seorang advokat, dijadikan tersangka dan masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang), terkait kasus konflik jual beli apartemen dengan pengembang properti PT Elite Prima Hutama, anak perusahaan Pakuwon Jati Tbk Group.
Ike Farida adalah pemilik Unit Apartemen Casa Grande, Casablanca, Jakarta Selatan. Namun, meski apartemennya sudah dibayar lunas sejak 12 tahun silam, Ike Farida tak kunjung diberikan haknya sebagai pemilik unit apartemen.
"Sampai detik ini belum diterima dengan berbagai alasan, padahal klien saya sudah membayar lunas sejak 12 tahun lalu seharga Rp3 miliar lebih," ujar Kamaruddin Simanjuntak kepada awak media di Polda Metro Jaya, Rabu (18/1/2023).
Kemudian kasus apartemen Meikarta. Pengembang Meikarta menggugat konsumen Meikarta yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) senilai Rp56 miliar. Ketua PKPKM, Aep Mulyana mengaku tak paham mengapa Meikarta tiba-tiba menggugat mereka. Padahal merekalah pihak yang dirugikan karena unit properti yang mereka beli sampai saat ini belum juga tersedia, yang semula dijanjikan akan serah terima unit pada tahun 2019 lalu.
Selain kasus Meikarta dan Casa Grande, Casablanca, kasus yang sama juga terjadi di Gading Serpong. Belum lama ini, empat orang Tim Komnas HAM yang terdiri dari Moch Ridwan, Vella Okta, Frisca dan Rani berkunjung ke perumahan Klaster Catalina, Gading Serpong untuk bertemu pengurus Paguyuban Warga Klaster Catalina Gading Serpong, Rabu (15/2/2023) lalu, pukul 10.00 WIB.
Tujuan Komnas HAM menemui pengurus Paguyuban Warga Catalina untuk melakukan investigasi dan verifikasi atas bukti-bukti dan dokumen tertulis, terkait adanya dugaan pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan hidup yang dialami warga Klaster Catalina, akibat adanya pembangunan proyek apartemen Carstensz yang sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu oleh salah satu pengembang properti di Serpong.
"Kami warga Catalina yang tergabung dalam Paguyuban akan terus berjuang untuk melindungi dan menjaga hak-hak asasi kami dan berharap Komnas HAM bisa melindungi hak asasi kami," kata Jhon, Ketua Paguyuban Warga Klaster Catalina, Gading Serpong.
Menanggapi pernyataan Jhon, anggota Komnas HAM, Moch Ridwan mengatakan, pihaknya akan melihat aspek moral dalam menyelesaikan kasus ini.
"Komnas HAM tidak punya wewenang memberikan sanksi atau memaksa si terngadu untuk melaksanakan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM, karena itu diluar kewenangan Komnas HAM. Komnas HAM hanya menekankan aspek moral atas kasus yang terjadi," tandas Ridwan.
Melihat fakta semakin maraknya pengembang properti yang diduga kuat melakukan pelanggaran hukum, maka bila ini benar terjadi, pengembang dapat dikenakan sanksi pidana dalam UU PPLH, yaitu pada saat pengembang perumahan melakukan pelanggaran yang berakibat rusak atau terganggunya lingkungan hidup warga sekitar, seperti banjir, longsor, debu, bising, runtuhan material bangunan, debit air mengecil, lingkungan tidak terkena cahaya matahari pagi, tanah amblas dan lain sebagainya.
Pertanggugjawaban pengembang perumahan dalam UU PPLH yang merupakan suatu korporasi atau badan usaha terdapat dalam pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 disebutkan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Apabila tindak pidana lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin.[redtp17]
Ditunggu tindakan aparat yang berwenang untuk pro rakyat...
BalasHapus